Cerita Cinta

Jumat, 09 September 2011

| | |
Sejak kecil aku mengenalmu, karena kau tetangga dekatku, namun tak pernah terbayang kau akan menjadi pendamping hidupku
Sebenarnya engkau tak terlalu cantik tapi lebih sulit untuk mengatakan engkau jelek, biasa saja. Engkau juga tak pernah memoleskan make-up diwajahmu, apalagi mengenakan perhiasaan sebagaimana teman-temanmu. Namun kesehajaan itulah yang mengusik hatiku, sehingga kuputuskan untuk memilihmu untuk menjadi pendamping hidupku.engkau yang sederhana pintar dan tak banyak bicara, sungguh terlihat dewasa.
Engkau bukan anak berpangkat, juga bukan keturunan ningrat. Tapi aku tak peduli, yang ku utamakan bukan itu. Teatapi raga yang selalu mengutamakan akhirat. Tekadku sudah bulat, kan kupinang dirimu dalam waktu dekat.
Saat itu engkau baru lulus SMA. Tak kusangka engkau akan menerima dengan tangan terbuka. Bahkan demi aku, engkau rela mengorbankan keinginanmu untuk mencicipi bangku kuliah. Semua pun menyayangkan hal itu, karena menurut mereka engkau termasuk murid yang cerdas. Tapi entah mengapa, engkau lebih memilih menjadi Ibu rumah tangga saja. Sujud syukurku kepada ALLAH, Alhamdulillah.(berduka)
Semua serasa begitu mudan dan kita pun menikah. Saat usiaku baru 25 tahun dan engkau baru 19 tahun. Memang masih terlalu muda untuk kalangan umum, tetapi ternyata engkau berani mengambil  keputusan itu. Engkau berani mengakhiri lajangmu diusia yang sedini itu. Aku punsemakin kagum padamu.
Sejak menikah hingga kini belumpernah engkau mengeluh tentang keadaan yang kita alami. Padahal engkau tahu sendiri penghasilanku yang tak seberapa, kadangkala tak seimbang dengan pemasukan dan kebutuhan. Sering kita harus menekan keinginan karena memang kita tidk sanggup mengapainya. Namun tak pernah kulihat kristal bening menetes dari pelupuk matamu karena itu
Masih teringat ketika pertama kali kita arungi bahtera ini disebuah kontrakan mungil. Sama sekali kita tidak punya apa-apa, bahkan alas tidurpun tidak ada. Tapi kau begitu cerdik. Seongkok pakaiankita yang masih tersimpan didalam tas usang kau keluarkan. Engkau lipat, kemudian kau tumpuk dua hingga tiga pakaian, lalu kau bariskan sedemikian rupa hingga menerupai kasur. Kemudian engkau bentangkan kerudung lebarmu laksana seprei permadani menyelimuti kasur indah kita. Engkau tersenyum dan mempersilahkan aku tidur. Kutatap wajahmu, kubalas dengan genangan air mata haru.

Bersamamau, bergulirnya waktu terasa begitu cepat. Hari-hari berlalu terasa begitu indah. Kekurangan materi yang menemani kita setiap hari, seakan bukan merupakan beban manakala kita senantiasa ikhlas. Denganmu begitu banyak pelajaran yang aku petik
Ketika setahun usia pernikahan kita, tujuh bulan usia kehamilanmu. Aku begitu panikketika engkau mengalami pendarahan tapi engkau begitu tenang tak gugup sedikitpun. Padahal dari keningmu yang berkerut dan nafasmu yang tertahan, aku tahu engkau tengah merasakan rasa sakit yang luar biasa. Segera ku bawa ke bidan dan bilang ini tanda-tanda mau melahirkan
Jam dua bels tengah malam ketika insan mulai terlelap dengan mimpi-mimpinya. Anak pertama kita lahir, prematur. Ah.. betapa bahagianya aku. Kucium keningmu berulang kali. Kudengar kau berbisik, “bi..., aku lapar”. Tersentak aku mendengarnya. Ya seharian tadi engkau tidak memasak dan tak makan karena sudah merasakan sakit sejak kemarin. Sedangkan sore tadi aku hanya beli sebungkus nasi diwarung dan sudah kulahap habis kutawari kau tidak mau. Tak ada roti tak ada jajanan, tak ada apapun untuk mengganjal perutmu. Mau beli seluruh toko dan warung sudah pada tutup. Akhirnya kusodorkan segelas air utih yang disuguhkan bidanu untukmu. Dan engku tak menuntut lebih dari itu. Kembali mengenang air mata dipelupuk mataku menyaksikan kebahagiaan yang tersirat diwjahmu. Ya, bayi mungil kita nampak sehat dan berbahagia menjadikanmu lupa lapar dan dahaga.
Tahun berganti dan engkau tak pernah berubah. Hampir sepuluh tahun kita bersama dalam kehidupan yang sederhana, tapi kita tak pernah mengeluh. Engkau juga tak pernah enuntut dunia dariku, tak pernah minta ini itu sebagaimana para istri kebanykan. Beli pakaian saja tiga atau emat thun sekali. Perhiasan? Kau tak pernah mengenalnya. Bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari tanpa berhutang saja sudah lebih dari cukup.
Sungguh aku beruntung memilikimu. Engkaulah sebenarnya perhiasan itu. Semoga engkau selalu tegar mendampingiku , hingga kita jelang surga bersama-sama. ‘insya allah.

Buat istriku, aku tahu engkau punya impian. Ma’afkan aku yang kini belum mampu mewujudkan impianmu

Posted by: Filla Dlia'a Umaroh

0 komentar:

Posting Komentar